SERIVĀṆIJA-JĀTAKA.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Dalam keyakinan ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh
Bhagawan ketika Beliau berada di Sawatthi, juga mengenai seorang bhikkhu
yang menyerah dalam daya upaya pelatihan dirinya.
Maka, pada saat dibawa oleh para bhikkhu seperti halnya dalam kisah
sebelumnya, Sang Guru berkata, “Engkau, bhikkhu yang telah bertekad
untuk melaksanakan ajaran yang begitu mulia, yang memungkinkan
pencapaian kesucian, [111] hendak menyerah berdaya upaya dalam
pelatihan, hal ini akan membuahkan penderitaan panjang seperti seorang
pedagang di Seri yang kehilangan sebuah mangkuk emas bernilai seratus
ribu keping uang.”
Para bhikkhu memohon Bhagawan menjelaskan maksud perkataan Beliau
kepada mereka. Beliau kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak
mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika pada masa lima kalpa yang lampau di Kerajaan Seri,
Bodhisatta berdagang belanga dan tembikar, ia dikenal dengan sebutan
‘Serivan’. Bersama seorang pedagang keliling lainnya yang tamak, dengan
barang dagangan yang sama, juga dikenal dengan sebutan ‘Serivan’,
melintasi Sungai Telavāha dan memasuki Kota Andhapura. Mereka membagi
daerah dagang dengan kesepakatan bersama dan masing-masing mulai
berkeliling menjajakan dagangannya.
Di kota itu terdapat sebuah keluarga yang sangat miskin. Awalnya
mereka adalah keluarga saudagar yang kaya, namun saat kisah ini terjadi,
mereka telah kehilangan semua anak lakilaki dan saudara laki-laki
beserta semua harta kekayaan mereka. Yang tersisa dalam keluarga itu
hanyalah seorang anak gadis bersama neneknya, mereka bertahan hidup
dengan menerima pekerjaan upahan. Tanpa menyadari bahwa mereka masih
mempunyai sebuah mangkuk emas yang dulunya dipakai oleh saudagar kaya,
kepala keluarga itu untuk menyantap makanan. Akan tetapi karena sudah
lama tidak dipergunakan, mangkuk emas itu tersaput kotor dengan debu dan
ditempatkan di antara tumpukan belanga dan tembikar. Saat itu, pedagang
keliling yang tamak sedang berada di depan rumah mereka menjajakan
barang dagangannya. Ia berteriak, “Kendi untuk dijual! Kendi untuk
dijual!” Ketika gadis muda itu melihat ada seorang pedagang keliling di
depan pintu rumah mereka, ia berkata kepada neneknya, “Ayolah, Nek,
belikan saya sebuah perhiasan.”
“Kita sangat miskin, Sayang; apa yang dapat kita tukarkan untuk mendapatkan perhiasan?”
“Masih ada sebuah mangkuk yang tidak pernah kita gunakan, mari kita tukarkan dengan perhiasan untukku.”
Wanita tua itu mempersilakan pedagang keliling tersebut masuk dan
duduk, kemudian memberikan mangkuk itu kepadanya dan berkata, “Ambillah
ini, Tuan. Berbaik hatilah dengan menukarkan sesuatu untuk saudarimu
ini.”
Pedagang tamak itu mengambil mangkuk tersebut dan membalikkannya. Ia
memperkirakan mangkuk itu terbuat dari emas, dengan menggunakan sebatang
jarum ia menggores bagian belakang mangkuk dan yakin itu adalah sebuah
mangkuk emas. Sambil memikirkan cara mendapatkan mangkuk tersebut tanpa
memberikan apapun kepada wanita tua itu, ia berteriak, “Memangnya berapa
harga mangkuk ini? Bahkan tidak bernilai seperdelapan sen!” [112]
Seraya bangkit dari tempat duduknya, ia melemparkan mangkuk itu ke
lantai dan pergi dari rumah itu. Sesuai kesepakatan mereka, setelah
seorang pedagang selesai menjajakan dagangannya di suatu tempat,
pedagang yang lain boleh mencoba peruntungannya di tempat yang telah
ditinggalkan temannya; maka Bodhisatta datang ke jalan yang sama,
berhenti di depan rumah tersebut dan berteriak, “Kendi untuk dijual!”
Sekali lagi gadis muda itu mengulangi permintaannya. Wanita tua itu
menjawab, “Sayangku, pedagang keliling sebelumnya telah melemparkan
mangkuk ini ke lantai dan meninggalkan rumah kita. Barang apa lagi yang
bisa kita tukarkan untuk mendapatkan perhiasan untukmu?”
“Pedagang tadi seorang yang kasar dalam berkata-kata, Nek. Sementara
yang ini terlihat baik dan berbicara dengan ramah. Sepertinya ia akan
menerima tawaran kita.” “Kalau begitu, panggillah ia kemari.” Maka
pedagang itu pun masuk ke dalam rumah, setelah dipersilakan duduk,
mereka menyerahkan mangkuk itu kepadanya. Melihat bahwa mangkuk itu
terbuat dari emas, ia berkata, “Ibu, mangkuk ini bernilai seratus ribu
keping uang. Saya tidak mempunyai uang sebanyak itu.”
“Tuan, pedagang yang kemari sebelum kedatanganmu mengatakan bahwa
nilai mangkuk ini tidak melebihi seperdelapan sen. Ia melemparkan
mangkuk ke lantai dan pergi dari rumah ini. Kemuliaan hatimu telah
mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah mangkuk ini, berikan sesuatu
barang atau yang lainnya kepada kami, dan lanjutkan perjalananmu.”
Saat itu Bodhisatta memiliki lima ratus keping uang dan barang dagangan
dengan nilai yang lebih besar. Ia memberikan semuanya kepada mereka dan
berkata, “Saya akan menyisakan timbangan, tas dan delapan keping uang
untuk saya simpan.” Atas persetujuan mereka, ia menyimpannya, kemudian
dengan cepat berlalu ke pinggir sungai, memberikan delapan keping uang
tersebut kepada tukang perahu dan naik ke perahu. Tidak lama kemudian,
pedagang yang tamak itu kembali ke rumah tersebut, meminta mereka
mengeluarkan mangkuk itu untuk ditukar dengan sesuatu barang atau yang
lain. Wanita tua itu menemuinya dan berkata, “Engkau mengatakan mangkuk
emas kami yang bernilai seratus ribu keping uang itu tidak bernilai
bahkan seperdelapan sen. Namun datang seorang pedagang jujur (saya duga
tuanmu) yang memberikan kami seribu keping uang, kemudian membawa
mangkuk itu bersamanya.”
Mendengar hal tersebut ia berteriak, “Ia telah merampok sebuah
mangkuk emas yang bernilai seratus ribu keping uang dariku; ia telah
menyebabkan aku menderita kerugian besar.” Kesedihan yang teramat sangat
menderanya, ia kehilangan kendali dan terlihat seperti orang yang
terganggu pikirannya. [113] Uang dan barang dagangan dicampakkannya di
depan pintu rumah itu; ia melepaskan pakaiannya; dengan membawa lengan
timbangan sebagai alat pemukul, ia menyusul Bodhisatta sampai ke pinggir
sungai. Melihat perahu telah berlayar, ia menjerit agar tukang perahu
kembali ke pinggir sungai, namun Bodhisatta meminta tukang perahu untuk
melanjutkan pelayaran tersebut. Ia berdiri di pinggir sungai, hanya bisa
memandang Bodhisatta yang semakin jauh darinya, penderitaan yang amat
sangat melandanya. Hatinya diliputi oleh kemarahan; darah mencurat dari
bibirnya; jantungnya retak seperti lumpur di dasar permukaan tangki yang
kering oleh sinar matahari. Karena memikul kebencian terhadap
Bodhisatta, ia meregang nyawa di tempat itu pada saat itu juga. (Inilah
saat pertama Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta). Bodhisatta
yang menjalankan hidup dengan kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya,
terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha, Yang Mahatahu mengucapkan syair berikut ini: —
Jika dalam keyakinan ini, engkau lengah dan gagal untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diajarkan, — maka, seperti ‘Serivan’16 si penjaja keliling,
sepanjang masa meratap sesal imbalan yang hilang akibat kedunguannya.
Setelah menguraikan Dhamma dengan cara yang dapat membimbing mereka
pada pencapaian tingkat kesucian Arahat, Sang Guru memaparkan Empat
Kebenaran Mulia secara terperinci. Di akhir khotbah, bhikkhu yang
(tadinya) putus asa itu mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.
Setelah menceritakan kedua kisah itu, Bhagawan menjelaskan pertautan
keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan menuturkan
kesimpulan, “Saat itu, Devadatta adalah penjaja keliling yang tamak, dan
Saya sendiri adalah penjaja keliling yang bijaksana dan baik itu.”
Catatan :
16 Di sini pemberi komentar menyebut si jahat dengan panggilan ‘Serivā’’, tanpa menyadari bait kata ‘Serivāyaṁ’ mewakili ‘sandhi’ dari kata Serivo (bukan Serivā) dengan ayaṁ, sama seperti kata dukkhayaṁ di hal.168 Vol.I dari kata yang mewakili dukkho ayaṁ.
16 Di sini pemberi komentar menyebut si jahat dengan panggilan ‘Serivā’’, tanpa menyadari bait kata ‘Serivāyaṁ’ mewakili ‘sandhi’ dari kata Serivo (bukan Serivā) dengan ayaṁ, sama seperti kata dukkhayaṁ di hal.168 Vol.I dari kata yang mewakili dukkho ayaṁ.
0 komentar:
Posting Komentar