VAṆṆUPATHA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Tanpa mengenal lelah, semakin dalam mereka menggali,” ‒ Kisah ini disampaikan oleh Bhagawan ketika Beliau menetap di Sawatthi.
Anda tentu mereka-reka, mengenai siapakah kisah ini? Kisah ini
mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam daya upaya pelatihan
dirinya.
Suatu waktu, saat Buddha menetap di Sawatthi, datanglah seorang
keturunan keluarga Sawatthi ke Jetawana. Sewaktu mendengarkan khotbah
Bhagawan, ia menyadari bahwa nafsu keinginan merupakan sumber
penderitaan, jadi ia memutuskan untuk menjadi seorang samanera. Selama
lima tahun lamanya ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang bhikkhu 15 ,
ia mempelajari dua rangkuman dan melatih diri dengan menggunakan metode
Vipassana, ia mendapatkan petunjuk dari Guru mengenai objek meditasi
yang sesuai untuknya. Ia pun masuk ke dalam hutan untuk melatih diri,
melewati musim hujan di hutan itu. Namun setelah berupaya dalam latihan
selama tiga bulan, ia tidak memperoleh kemajuan apapun. Keraguan
menyerangnya, “Guru berkata ada empat jenis manusia di dunia ini, saya
pasti jenis terendah dari semuanya. Tidak akan ada hasil yang dapat saya
capai, baik tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna dalam
kelahiran kali ini. Apa gunanya saya tinggal di hutan? Saya akan kembali
ke sisi Guru untuk menyaksikan keagungan Beliau dan mendengarkan
Dhamma-Nya yang indah.” Maka ia pun kembali ke Jetawana.
Semua teman dan kerabatnya berkata, “Awuso (Āvuso), bukankah engkau
telah mendapatkan objek pelatihan yang diberikan oleh Guru dan telah
pergi untuk berlatih dalam penyepian diri sebagai orang bijak? Sekarang
engkau kembali untuk bergabung bersama para bhikkhu lainnya. Apakah
engkau telah berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat dan tidak akan
mengalami kelahiran kembali lagi?” “Awuso, saya tidak berhasil mencapai
apa pun, baik tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna, saya
merasa telah gagal, jadi saya memutuskan untuk menyerah dan kembali lagi
ke tempat ini.” “Awuso, engkau telah melakukan kesalahan, berputus asa
di saat engkau telah bertekad untuk melaksanakan ajaran dari seorang
Sang Guru. [107] Mari, kami akan membawamu menemui Sang Guru untuk
meminta petunjuk-Nya.” Lantas mereka membawanya menemui Sang Guru.
Saat Sang Guru mengetahui kedatangan mereka, Beliau berkata, “Wahai
Bhikkhu, kalian membawa seorang bhikkhu yang datang bukan atas
kehendaknya. Apa yang telah ia lakukan?”
“Bhante, setelah bertekad melaksanakan ajaran kebenaran sejati,
bhikkhu ini menyerah dalam daya upaya melatih diri hidup menyepi sebagai
orang bijak, dan telah kembali ke sini.”
Sang Guru bertanya kepadanya, “Apakah benar, sebagaimana yang mereka
katakan, engkau menyerah berdaya upaya dalam pelatihanmu?” “Hal itu
benar adanya, Bhante.” “Bagaimana hal itu dapat terjadi? Setelah engkau
bertekad melaksanakan ajaran ini, mengapa engkau tidak menunjukkan pada
dirimu sendiri bahwa engkau adalah orang dengan sedikit keinginan, penuh
rasa puas, hidup dalam penyepian dan penuh tekad, melainkan menjadi
orang yang kurang berdaya upaya? Bukankah engkau begitu berani di
kehidupan lampau? Bukankah berkat kegigihanmu, engkau seorang diri, saat
berada di padang pasir bersama para pengikut dan sapi-sapi dari lima
ratus buah gerobak, berhasil mendapatkan air dan menerima sorakan
kegembiraan? Bagaimana mungkin engkau menyerah sekarang?” Ucapan Guru
menyentuh hati bhikkhu itu.
Mendengar perkataan itu, para bhikkhu bertanya pada Bhagawan,
“Bhante, kami tahu jelas keputusasaan bhikkhu pada saat ini; namun kami
tidak mengetahui bagaimana berkat kegigihan satu orang, para pengikut
dan sapi-sapi mendapatkan air di padang pasir dan akhirnya ia menerima
sorakan kegembiraan. Hal ini hanya diketahui oleh Sang Guru, Yang
Mahatahu; berkenanlah untuk menceritakan kejadian itu kepada kami.”
“Wahai Bhikkhu, dengarkanlah” tutur Bhagawan, setelah mereka
bersemangat dalam perhatian penuh, Beliau menyampaikan hal yang selama
ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
_____________________
Suatu ketika di masa lampau, Brahmadatta terlahir sebagai seorang
raja di Benares, Negeri Kāsi, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga
saudagar. Setelah dewasa, ia selalu melakukan perjalanan untuk berdagang
dengan lima ratus buah gerobaknya. Pada suatu kesempatan, ia tiba di
sebuah padang pasir yang terbentang sepanjang enam puluh yojana, pasir
yang demikian halus, sehingga saat digenggam, mereka dapat melewati
sela-sela jari yang paling rapat sekalipun. Sesaat setelah matahari
terbit, bentangan pasir itu menjadi sepanas bara arang yang terbakar,
tidak ada seorang pun yang mampu berjalan melintasinya. Dengan demikian,
gerobak-gerobak yang membawa kayu bakar, air, minyak, beras dan
sebagainya melintasi dan hanya dapat menempuh perjalanan di kala malam
hari. Saat fajar tiba, mereka menyusun gerobak-gerobak dengan membentuk
formasi di sekeliling sebagai benteng, memasang tenda di atasnya.
Setelah menikmati santapan pagi, mereka senantiasa duduk di bawah tenda
sepanjang hari. Saat matahari terbenam, mereka menikmati santapan malam
dan segera setelah permukaan pasirnya lebih dingin, mereka segera
mempersiapkan gerobak dan bergerak melintasi padang pasir itu. Menempuh
perjalanan di padang pasir seperti itu sama halnya dengan berlayar
mengarungi laut; seorang ‘pemandugurun’, begitu ia disebut, harus
mengiringi mereka dengan cara melihat posisi bintang [108]. Dengan cara
demikian juga saudagar kita melintasi padang pasir tersebut.
Saat berada sekitar tujuh mil atau lebih dari padang pasir tersebut,
ia berpikir, “Malam ini kami akan keluar dari padangpasir ini.” Jadi
setelah selesai menikmati santapan malam, ia memerintahkan para
pengikutnya untuk membuang persediaan air dan kayu mereka, mempersiapkan
gerobak dan segera memulai perjalanan. Di barisan gerobak terdepan,
duduk seorang pemandu, melihat posisi bintang di langit dan memberikan
petunjuk arah sesuai dengan pengamatannya. Namun, karena telah lama
tidak tidur, pemandu itu kelelahan dan jatuh tertidur, akibatnya ia
tidak mengetahui bahwa sapi telah berjalan memutar arah dan menapaki
arah dari mana mereka datang. Sepanjang malam sapi-sapi itu berjalan.
Saat fajar, pemandu itu terbangun dan mengamati posisi bintang di atas,
kemudian berteriak, “Putar arah gerobaknya! Putar arah gerobaknya!” Saat
gerobak-gerobak diputar dan kembali berbaris, hari sudah pagi. “Ini
adalah tempat dimana kita berkemah semalam,” teriak orang-orang dalam
rombongan itu. “Tidak ada air dan kayu lagi. Kita telah tersesat.”
Selesai berkata, mereka melepaskan sapi dari gerobak, menyusun gerobak
dengan membentuk formasi membentengi sekeliling dan memasang tenda di
atasnya; kemudian dengan keputusasaan, mereka menghempaskan diri di
bawah gerobak masing-masing. Bodhisatta berpikir, “Jika saya menyerah
saat ini, maka semua orang akan kehilangan nyawa.” Ia berjalan ke sana
kemari saat hari masih pagi dan permukaan pasir masih dingin, akhirnya
ia menemukan serumpun rumput kusa. “Rumput ini,” pikirnya, “hanya bisa
tumbuh jika ada air di bawah permukaannya.” Ia memerintahkan mereka
mengambil sekop dan menggali sebuah lubang di tempat itu. Setelah
menggali hingga mencapai kedalaman enam puluh hasta, sekop berantuk
dengan bebatuan; mereka kembali kehilangan harapan. Namun Bodhisatta
yang merasa yakin akan adanya aliran air di bawah bebatuan, turun masuk
ke dalam lubang dan berdiri di atas bebatuan itu. Ia menunduk ke bawah,
menempelkan telinganya ke bebatuan dan mendengarkan dengan teliti. Saat
telinganya mendengar bunyi aliran air di bawah batu, ia keluar dan
berkata kepada pelayannya yang masih muda, “Anakku, jika engkau menyerah
saat ini, kita semua akan kehilangan nyawa. Tunjukkan keyakinan dan
keberanianmu. Turunlah ke dalam lubang dengan membawa palu besi besar
ini dan hancurkan bebatuan itu.”
Karena patuh pada perintah tuannya, [109] anak laki-laki itu berbulat
tekad turun ke dasar sumur dan mulai menghancurkan bebatuan itu,
sementara yang lain telah patah semangat. Batu yang membendungi aliran
air itu hancur dan jatuh ke dalam lubang. Air menyembur dari lubang itu
hingga setinggi pohon lontar. Setiap orang minum dan mandi. Setelah
membelah poros roda cadangan gerobak, kayu tengkuk sapi dan perlengkapan
lain yang berlebih, mereka menanak nasi dan menghabiskan makanan
kemudian memberi makan sapi-sapi. Begitu matahari terbenam, mereka
menancapkan bendera di salah satu sisi sumur dan melanjutkan perjalanan
mereka. Sesampai di tempat tujuan, mereka menukar barang-barang muatan
mereka dua hingga empat kali lipat dari harga semula. Dengan membawa
hasil penukaran itu, mereka pulang ke rumah, tempat dimana mereka
menghabiskan sisa hidup mereka dan setelah meninggal, mereka terlahir
kembali di alam yang sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian juga
halnya dengan Bodhisatta, setelah menghabiskan hidupnya dengan kemurahan
hati dan perbuatan baik lainnya, ia terlahir kembali di alam sesuai
dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha, Yang
Mahatahu mengucapkan syair berikut ini: —
Tanpa mengenal lelah, semakin dalam
mereka menggali di tempat berpasir;
sekop demi sekop, sampai akhirnya air ditemukan.
Semoga orang bijak, tekun dalam daya upaya;
tidak kehilangan semangat maupun merasa letih,
hingga kedamaian ditemukan.
[110] Di akhir uraian ini, Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia.
Pada akhir khotbah, bhikkhu yang putus asa itu mencapai tingkat kesucian
tertinggi, Arahat.
Setelah menceritakan kedua kisah itu, Bhagawan menjelaskan pertautan
keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan mengucapkan : —
“Bhikkhu yang putus asa ini adalah pelayan muda di masa itu, yang dengan
segala daya upaya menghancurkan batu dan mempersembahkan air kepada
mereka; para pengikut Buddha adalah anggota rombongan lainnya; Saya
sendiri adalah pemimpin mereka.”
Catatan :
15 Masa pelatihan pabbajjā dan upasampadā merupakan dua
tingkatan pelatihan diri sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setara
dengan gelar sarjana muda dan sarjana penuh di Universitas, sama halnya
dengan tingkat pendeta dan pastor. Namun kurang sesuai jika kita memakai
susunan kata umat Kristen untuk membicarakan falsafah agama Buddha,
sehingga istilah-istilah tersebut dihindari pemakaiannya dalam
penerjemahan sedapat mungkin. Sebagaimana terlihat dalam Vinaya (
Mahāvagga I hal.49-51 ), usia lima belas tahun adalah usia yang biasa
untuk mengikuti pelatihan pabbajjā dan usia dua puluh untuk upasampadā,
dengan jarak usia lima tahun seperti yang tercantum dalam teks tersebut.
sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/vannupatha-jataka/
0 komentar:
Posting Komentar