Keempat penampakan agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana
tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan
beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani Sang Pangeran
untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana – Rāhula, yang lahir pagi
itu.
Sang Pangeran, yang baru saja kembali
dan perjalanan-Nya yang bahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan
perjalanan sebelumnya. Ia bahagia karena mengetahui bahwa cara untuk
mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan
menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, Pangeran tidak ingin
mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa
merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya.
Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan
usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan,
dan menyedihkan.
MENINGGALKAN ISTANA
Sekitar pertengahan malam, Pangeran
Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat ke
sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur
malang-melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik
dengan pemandangan ini; dalam pandangan-Nya, tubuh mereka semua
tergeletak seperti tidak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tidak
melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan
merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan
derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat.
Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia kemudian
meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah
tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran
Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka,
kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia
membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan,
lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha
merasa bahwa Ia perlu menengok istri dan putra-Nya yang baru lahir
sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, Pangeran
berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani
memindahkan tangan Putri Yasodharā dan menimang putra-Nya meskipun Ia
sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodharā
terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia
keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan
menunggu Pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, di
bulan Āsāḷha, tahun 594 Sebelum Era Umum (tahun 534 SEU secara konsensus
sejarawan) atau tahun 51 Sebelum Era Buddhis, di usia ke 29 tahun, pada
waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha
meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir
pada hari yang sama dengan Sang Pangeran, ikut meninggalkan istana
dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos
ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
MEMOTONG RAMBUT
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda
putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat
perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi
Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan
untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat
kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci
(cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia
melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sākya, Koliyā,
dan Mallā. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana
(satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi
Sungai Anomā dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran
Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang
kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran
kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk
mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya.
Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda
kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang
panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya
sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir
hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya
dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali
ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat
hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan
Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang
bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan
akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat
akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil
meratap dan menangis.
Sumber : http://bhagavant.com/pelepasan-keduniawian-pangeran-siddhattha
0 komentar:
Posting Komentar