Setelah menerima persembahan nasi
susu dari Sujātā di pagi hari, pada hari kelima belas di bulan Vesākha,
tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis,
Petapa Gotama kemudian pergi menuju hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) di tepi Sungai Nerañjarā. Di sana Ia beristirahat sejenak dan melewati sisa hari itu di bawah naungan rindang sebatang pohon sāla sambil berkonsentrasi dalam keluar-masuk nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā)[1].
Pada senja sore hari itu, kala udara terasa sejuk dan angin berhembus
sepoi-sepoi, Ia menuju ke Hutan Gayā, ke kaki pohon bodhi (Pali: assattha; Latin: Ficus religiosa).
Dalam perjalanan, Ia bertemu dengan
seorang pengumpul rumput bernama Sotthiya, yang tengah datang dari arah
yang berlawanan sambil memikul rumput. Sotthiya sangat terkesan oleh
penampilan agung Petapa Gotama. Setelah tahu bahwa Petapa Gotama
memerlukan sedikit rumput, ia lalu mempersembahkan delapan genggam
rumput kusa kepada-Nya.
Sesampainya di pohon bodhi, Petapa
Gotama memeriksa sekeliling untuk mencari tempat yang sesuai untuk
bermeditasi. Setelah itu, Ia duduk menghadap ke timur dengan bersilang
kaki. Ia menyatakan tekad-Nya yang bulat untuk tidak akan bangkit dari
tempat duduk-Nya walaupun hanya kulit, urat daging, dan tulang-Nya yang
tertinggal, seluruh tubuh, daging, dan darah-Nya mengering dan berkerut,
kecuali dan sampai Ia mencapai Kebuddhaan.
TERCAPAINYA TIGA PENGETAHUAN SEJATI
Setelah mengalami pergulatan batin yang
berat selama beberapa waktu sebelum matahari terbenam, dengan Bumi
sebagai saksi-Nya, akhirnya Petapa Gotama berhasil menundukkan rasa
ngeri, keinginan duniawi, niat buruk, dan kekejaman. Kemenangan-Nya atas
pergulatan batin ditandai dengan berjajarnya bulan purnama yang tengah
menyingsing di ufuk timur dengan bulatan merah matahari yang tengah
terbenam di ufuk barat. Petapa Gotama akhirnya mengetahui bahwa itulah
saat yang tepat untuk meneruskan perjuangan-Nya mencapai Pencerahan
Agung. Pada malam bulan purnama, bulan Vesak, 588 SEU, Petapa Gotama
tetap duduk tenang memusatkan perhatian-Nya.
Setelah Ia memasuki jhāna
pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam meditasi-Nya, pikiran-Nya yang
terkonsentrasi menjadi murni, cermelang, tanpa noda, tanpa cacat, mudah
ditempa, mudah dikendalikan, serta tak tergoyahkan. Saat itu Ia
mengarahkan pikiran-Nya dan mencapai tiga pengetahuan (Pali: tevijjā; Sanskerta: trividyā)
Pengetahuan pertama merupakan pengetahuan melihat dengan jelas dan rinci kelahiran-kelahiran-Nya yang terdahulu (Pali: pubbenivāsānussati ñāṇa; Sanskerta: purvanivāsānusmṛti jnāna). Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 sampai 22.00.
Pengetahuan kedua merupakan pengetahuan mata dewa (Pali: dibbacakkhu ñāṇa; Sanskerta: divyacaksus jnāna)[2]
yang dapat melihat dengan jelas lenyapnya dan munculnya kembali makhluk
hidup setelah mereka mati. Ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul
kembali ke dalam kondisi rendah dan mulia, cantik dan buruk, mujur dan
malang. Hal ini terjadi pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00
sampai 02.00.
Pengetahuan ketiga merupakan pengetahuan akan penghancuran noda-noda batin (Pali: āsavakkhaya ñāṇa; Sankserta: Asravaksaya jnāna).
Ia mengetahui secara langsung segala sesuatu sebagaimana adanya. Ia
menyadari dan mencerap bahwa pikiran-Nya terbebas dari noda keinginan
indrawi, noda kehidupan, dan noda kebodohan batin. Dan ketika Ia
terbebas, muncullah pengetahuan bahwa Ia telah terbebas. Ia menyadari
langsung bahwa sumber kelahiran-Nya sudah dihancurkan; hidup suci sudah
dijalankan; apa yang harus dilakukan sudah dilakukan; tiada lagi
kelahiran kembali di alam mana pun juga. Hal ini terjadi pada waktu jaga
ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Ia mengetahui bahwa
“inilah penderitaan”, bahwa “inilah sumber penderitaan”, bahwa “inilah
berakhirnya penderitaan”, dan bahwa “inilah jalan menuju akhirnya
penderitaan”.
Dengan tercapainya Pengetahuan Sejati Ketiga tersebut maka Petapa Gotama mencapai Arahatta-Magga[3]. Dan tanpa jeda waktu sedikit pun, Ia mencapai Arahatta-Phala[4], saat pikiran-Nya menjadi benar-benar murni. Demikianlah Petapa Gotama menjadi Yang Sadar (Buddha), Yang Terberkahi (Pali: Bhagavā; Sanskerta: Bhagavant), Yang Tercerahkan Sempurna (Pali: Sammāsambuddha; Sanskerta: Samyaksambuddha).
Seiring dengan Pencerahan-Nya, Petapa
Gotama juga memperoleh pengetahuan sempurna tentang Empat Kebenaran
Ariya (Pali: Cattāri Ariya Saccāni; Sanskerta: Catvāri Ārya Satyāni),
Empat Pengetahuan Analisa (Pali: paṭisambhidā ñāṇa; Sanskerta: pratisambhidā jnāna), serta Enam Pengetahuan Khusus (Pali: Asādhāraṇa ñāṇa; Sanskerta:Asādhāraṇa jnāna), yang kesemuanya merupakan Kebijaksanaan Beruas Empat Belas dari seorang Buddha.
Demikianlah menjelang fajar pada hari
keenam belas, bulan Vesākha 588 SEU, atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis,
pada usia tiga puluh lima tahun, Petapa Gotama mencapai Kemahatahuan (Sabbaññutta ñāṇa; Sanskerta: Sarvajña jnāna) dan menjadi Buddha[5] dari tiga dunia dengan usaha-Nya sendiri.
UNGKAPAN KEBAHAGIAAN
Saat fajar, pada hari Pencerahan-Nya, pikiran Buddha dipenuhi dengan kegiuran mendalam (Pali: pīti; Sanskerta: priti) saat Ia tengah merenungkan bahwa Ia mampu menemukan kedamaian dan kebahagiaan abadi dari Pembebasan (Pali: Nibbāna; Sanskerta: Nirvāṇa)[6]
yang telah dicari-Nya begitu lama, Ia mengungkapkan kebahagiaan-Nya
dengan mengucapkan dua bait syair nyanyian pujian kebahagiaan (udāna).
“Anekajāti saṃsāraṃ sandhāvissaṃ anibbisaṃGahakārakaṃ gavesanto dukkhā jāti punappunaṃ.”
“Gahakāraka diṭṭho’si puna gehaṃ na kāhasi
Sabbā te phāsukā bhaggā gahakauṭaṃ visaṅkhitaṃ
Visaṅkhāragataṃ cittaṃ taṇhānaṃ khayamajjhagā.”
“Beraneka kelahiran di samsara telah Kulalui
Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini.
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!”
Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini.
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!”
“O pembuat rumah! Sekarang engkau telah terlihat!
Engkau tak dapat membuat rumah lagi!
Semua kasaumu telah dihancurkan!
Batang bubunganmu telah diruntuhkan!
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi!
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”
Engkau tak dapat membuat rumah lagi!
Semua kasaumu telah dihancurkan!
Batang bubunganmu telah diruntuhkan!
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi!
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”
TUJUH MINGGU SETELAH PENCERAHAN
Setelah Pencerahan, Buddha tinggal
selama tujuh minggu di tujuh tempat yang berlainan di bawah pohon bodhi
dan sekitarnya. Selama masa itu, Ia tidak makan sama sekali; tubuh-Nya
terpelihara oleh zat makanan dari nasi susu yang dipersembahkan oleh
Sujātā.
Minggu Pertama – Duduk di Bawah Pohon Bodhi
Buddha duduk bersilang kaki di bawah pohon bodhi tanpa mengubah posisi tubuh-Nya selama minggu pertama, sambil mengalami kebahagiaan Pembebasan (Pali: vimuttisukha; Sankserta: vimuktisukha). Pada hari ketujuh, Ia keluar dari keadaan konsentrasi, dan selama waktu dari jaga pertama hingga ketiga malam itu Ia merenungkan Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Pali: Paṭiccasamuppāda; Sanskerta: Pratītyasamutpāda). Minggu pertama ini dikenal sebagai Minggu Duduk (Pali: pallaṅka-sattāha; Sankserta: palyaṅka-saptaha).
Buddha duduk bersilang kaki di bawah pohon bodhi tanpa mengubah posisi tubuh-Nya selama minggu pertama, sambil mengalami kebahagiaan Pembebasan (Pali: vimuttisukha; Sankserta: vimuktisukha). Pada hari ketujuh, Ia keluar dari keadaan konsentrasi, dan selama waktu dari jaga pertama hingga ketiga malam itu Ia merenungkan Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Pali: Paṭiccasamuppāda; Sanskerta: Pratītyasamutpāda). Minggu pertama ini dikenal sebagai Minggu Duduk (Pali: pallaṅka-sattāha; Sankserta: palyaṅka-saptaha).
Minggu Kedua – Menatapi Pohon Bodhi
Pada hari kedelapan, Buddha bangkit dari duduk lalu berjalan beberapa langkah ke arah timur laut, kemudian Ia berdiri sambil menatap pohon bodhi terus-menerus tanpa mengejapkan mata selama seminggu penuh. Hal ini dilakukan-Nya sebagai tanda terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada pohon bodhi yang telah menaungi-Nya selama perjuangann-Nya mencapai Pencerahan. Minggu kedua ini dikenal sebagai Minggu Menatap Tanpa Berkedip (Pali: animisa-sattāha; Sankserta: animiṣa-saptaha).
Pada hari kedelapan, Buddha bangkit dari duduk lalu berjalan beberapa langkah ke arah timur laut, kemudian Ia berdiri sambil menatap pohon bodhi terus-menerus tanpa mengejapkan mata selama seminggu penuh. Hal ini dilakukan-Nya sebagai tanda terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada pohon bodhi yang telah menaungi-Nya selama perjuangann-Nya mencapai Pencerahan. Minggu kedua ini dikenal sebagai Minggu Menatap Tanpa Berkedip (Pali: animisa-sattāha; Sankserta: animiṣa-saptaha).
Minggu Ketiga – Berjalan di Sekitar Pohon Bodhi
Pada hari kelima belas, Buddha tetap tinggal di sekitar pohon bodhi dan berjalan-jalan sambil merenungkan Dhamma[7] dan terserap dalam Buah Kesucian/Hasil Pencapaian (Pali, Sanskerta: Samāpatti Phala)[8]. Minggu ketiga ini dikenal sebagai Minggu Berjalan (Pali: caṅkama-sattāha; Sankserta: caṅkrama-saptaha).
Pada hari kelima belas, Buddha tetap tinggal di sekitar pohon bodhi dan berjalan-jalan sambil merenungkan Dhamma[7] dan terserap dalam Buah Kesucian/Hasil Pencapaian (Pali, Sanskerta: Samāpatti Phala)[8]. Minggu ketiga ini dikenal sebagai Minggu Berjalan (Pali: caṅkama-sattāha; Sankserta: caṅkrama-saptaha).
Minggu Keempat – Merenungkan Dhamma Lebih Lanjut
Pada hari kedua puluh dua, Buddha tinggal di sebuah bangunan di sebelah barat laut pohon bodhi. Ia melakukan perenungan terhadap Dhamma lebih lanjut hingga sampai dengan menguraikan (Pali: paṭṭhāna; Sanskerta: prasthāna) Dhamma yang berkaitan dengan 24 kondisi dari sebab dan akibat (Pali: paccaya 24; Sanskerta: pratyaya 24). Minggu keempat ini dikenal sebagai Minggu Gerha Permata (Pali: ratanaghara-sattāha; Sanskerta: ratnagrha-saptaha).
Pada hari kedua puluh dua, Buddha tinggal di sebuah bangunan di sebelah barat laut pohon bodhi. Ia melakukan perenungan terhadap Dhamma lebih lanjut hingga sampai dengan menguraikan (Pali: paṭṭhāna; Sanskerta: prasthāna) Dhamma yang berkaitan dengan 24 kondisi dari sebab dan akibat (Pali: paccaya 24; Sanskerta: pratyaya 24). Minggu keempat ini dikenal sebagai Minggu Gerha Permata (Pali: ratanaghara-sattāha; Sanskerta: ratnagrha-saptaha).
Minggu Kelima – Berada di Pohon Jawi Ajapāla
Pada hari kedua puluh sembilan, Buddha berjalan kaki kembali ke pohon jawi ajapala (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India) yang terletak di sebelah timur pohon bodhi dan duduk bersilang kaki di sana. Pada minggu ini Buddha bertemu dengan brahmin yang congkak (huhunkajātika) dan selanjutnya bermeditasi di sana. Minggu kelima ini dikenal sebagai Minggu Jawi (Pali: ajapāla–sattāha; Sanskerta: ajapāla-saptaha).
Pada hari kedua puluh sembilan, Buddha berjalan kaki kembali ke pohon jawi ajapala (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India) yang terletak di sebelah timur pohon bodhi dan duduk bersilang kaki di sana. Pada minggu ini Buddha bertemu dengan brahmin yang congkak (huhunkajātika) dan selanjutnya bermeditasi di sana. Minggu kelima ini dikenal sebagai Minggu Jawi (Pali: ajapāla–sattāha; Sanskerta: ajapāla-saptaha).
Minggu Keenam – Duduk di Bawah Pohon Putat
Pada hari ketiga puluh enam, Buddha menuju ke kaki pohon putat (Pali, Sanskerta: ambuja; Latin: Barringtonia acutangula; putat India)[9] yang tidak jauh dari pohon jawi. Ia melewatkan tujuh hari dengan duduk bersilang kaki dan menikmati kebahagiaan Pembebasan. Saat itu hujan turun dengan deras, seekor Raja Ular Kobra (Pali, Sanskerta: Nāga) Mucalinda keluar dari kediamannya dan membelitkan dirinya sebanyak tujuh lingakaran pada tubuh Sri Buddha serta menaungi kepala-Nya dengan kudungnya yang lebar sampai pada akhir minggu keenam. Minggu keemam ini dikenal sebagai Minggu Mucalinda (Pali: mucalinda–sattāha; Sanskerta: mucalinda-saptaha).
Pada hari ketiga puluh enam, Buddha menuju ke kaki pohon putat (Pali, Sanskerta: ambuja; Latin: Barringtonia acutangula; putat India)[9] yang tidak jauh dari pohon jawi. Ia melewatkan tujuh hari dengan duduk bersilang kaki dan menikmati kebahagiaan Pembebasan. Saat itu hujan turun dengan deras, seekor Raja Ular Kobra (Pali, Sanskerta: Nāga) Mucalinda keluar dari kediamannya dan membelitkan dirinya sebanyak tujuh lingakaran pada tubuh Sri Buddha serta menaungi kepala-Nya dengan kudungnya yang lebar sampai pada akhir minggu keenam. Minggu keemam ini dikenal sebagai Minggu Mucalinda (Pali: mucalinda–sattāha; Sanskerta: mucalinda-saptaha).
Minggu Ketujuh – Duduk di Bawah Pohon Rājāyatana
Pada hari keempat puluh tiga, Buddha menuju ke kaki pohon rājāyatana (Pali: piyāla; Sanskerta: rājānadanha, priyāla; Latin: Buchanania latifolia; chironji) yang terletak di selatan pohon bodhi. Ia duduk bersilang kaki di bawah pohon itu tanpa gangguan apa pun, sambil menikmati kebahagiaan Pembebasan, selama seminggu. Minggu ketujuh ini dikenal sebagai Minggu Rājāyatana (Pali: rājāyatana–sattāha; Sanskerta: rājānadanha-saptaha).
Pada hari keempat puluh tiga, Buddha menuju ke kaki pohon rājāyatana (Pali: piyāla; Sanskerta: rājānadanha, priyāla; Latin: Buchanania latifolia; chironji) yang terletak di selatan pohon bodhi. Ia duduk bersilang kaki di bawah pohon itu tanpa gangguan apa pun, sambil menikmati kebahagiaan Pembebasan, selama seminggu. Minggu ketujuh ini dikenal sebagai Minggu Rājāyatana (Pali: rājāyatana–sattāha; Sanskerta: rājānadanha-saptaha).
PERSEMBAHAN DANA MAKANAN PERTAMA
Pada senja hari pertama dari minggu
kedelapan setelah Pencerahan, saat Buddha sedang duduk di kaki pohon
rājāyatana, dua orang pedagang bersaudara bernama Tapussa dan Bhallika
yang berasal dari Pokkharavatī (Sanskerta: Puṣkalāvatī – sekarang
Charsadda), di daerah Ukkalā (sekarang di daerah Khyber Pakhtunkhwa,
Pakistan), dengan berkereta kuda menuju Majjhimadesa (sekarang India
Tengah), melewati jalan utama yang tidak jauh dari pohon di mana Sri
Buddha berada.
Setelah melihat Buddha, Tapussa dan Bhallika mempersembahkan kue nasi dan laḍḍu[10] kepada-Nya. Kemudian Buddha menerima kue nasi dan laḍḍu
itu dengan mangkuk dana yang baru. Setelah memakan persembahan itu, Ia
menyatakan terima kasih kepada pedagang bersaudara itu, yang menjadi
sangat terkesan. Dan mereka menyatakan diri bernaung kepada Buddha dan
Dhamma. Demikianlah Tapussa dan Bhallika menjadi dua siswa awam pertama
dari Buddha dengan mengambil Dua Pernaungan yaitu Buddha dan Dhamma
saja.
Ketika saatnya telah tiba untuk
melanjutkan perjalanan, Tapussa dan Bhallika mengajukan permohonan agar
mereka diberikan sesuatu untuk diingat dan dipuja setiap waktu. Lalu,
Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanannya dan memberikan mereka
beberapa helai rambut-Nya. Mereka menerima relik rambut (Pali: kesadhātu; Sanskerta: kēśyadhātu)
tersebut dengan penuh hormat dengan kedua tangan mereka. Relik itu
kemudian mereka simpan dalam sebuah peti emas. Kemudian mereka
meninggalkan tempat itu dengan penuh sukacita.
Catatan:
[1] Meditasi dengan cara memperhatikan keluar-masuknya nafas yang terjadi secara alami.
[2] Sering juga juga disebut dengan pengetahuan cutūpapāta ñāṇa.
[3] Arahatta-Magga, jalan masuk mencapai kesucian, merupakan kondisi kesucian bagi Makhluk Suci tingkat ketujuh.
[4] Arahatta-Phala, pahala atau hasil mencapai kesucian sempurna, merupakan kondisi kesucian bagi Makhluk Suci tingkat kedelapan.
[5] Berasal dari kata “budh” dalam bahasa Pali maupun Sanskerta, yang artinya “sadar”. Kata “buddha “berarti “yang telah sadar” atau “yang telah terjaga” atau “yang telah cerah”.
[6] Nibbāna, (Sanskerta: Nirvāna), secara harfiah berarti “padam” (nir + √vā, meniup padam, menjadi padam); berdasarkan kitab komentar berarti “bebas dari nafsu” (nir + vana) merupakan tujuan akhir dan tertinggi dari semua aspirasi Buddhis. Padamnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
[7] Pali: Dhamma; Sanskerta: Dharma, berasal dari kata “dhṛ“. Secara harfiah berarti “penopang” atau “menahan”; norma, konstitusi, hukum, ajaran; kebenaran, keadilan; fenomena. Pengertiannya tergantung pada penggunaanya dalam teks.
[8] Istilah yang sama dengan kata jhāna (Pali) atau dhyāna (Sankserta), yaitu kondisi pikiran yang mencerap obyek saat meditasi dilakukan.
[9] Karena saat itu pohon putat tersebut merupakan kediaman raja naga Mucalinda, maka sering disebut sebagai pohon Mucalinda.
[10] Makanan manis terbuat dari tepung dan gula, yang penyajiannya dibentuk menjadi bola-bola kecil.
[2] Sering juga juga disebut dengan pengetahuan cutūpapāta ñāṇa.
[3] Arahatta-Magga, jalan masuk mencapai kesucian, merupakan kondisi kesucian bagi Makhluk Suci tingkat ketujuh.
[4] Arahatta-Phala, pahala atau hasil mencapai kesucian sempurna, merupakan kondisi kesucian bagi Makhluk Suci tingkat kedelapan.
[5] Berasal dari kata “budh” dalam bahasa Pali maupun Sanskerta, yang artinya “sadar”. Kata “buddha “berarti “yang telah sadar” atau “yang telah terjaga” atau “yang telah cerah”.
[6] Nibbāna, (Sanskerta: Nirvāna), secara harfiah berarti “padam” (nir + √vā, meniup padam, menjadi padam); berdasarkan kitab komentar berarti “bebas dari nafsu” (nir + vana) merupakan tujuan akhir dan tertinggi dari semua aspirasi Buddhis. Padamnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
[7] Pali: Dhamma; Sanskerta: Dharma, berasal dari kata “dhṛ“. Secara harfiah berarti “penopang” atau “menahan”; norma, konstitusi, hukum, ajaran; kebenaran, keadilan; fenomena. Pengertiannya tergantung pada penggunaanya dalam teks.
[8] Istilah yang sama dengan kata jhāna (Pali) atau dhyāna (Sankserta), yaitu kondisi pikiran yang mencerap obyek saat meditasi dilakukan.
[9] Karena saat itu pohon putat tersebut merupakan kediaman raja naga Mucalinda, maka sering disebut sebagai pohon Mucalinda.
[10] Makanan manis terbuat dari tepung dan gula, yang penyajiannya dibentuk menjadi bola-bola kecil.
Sumber : http://bhagavant.com/pencapaian-pencerahan-sempurna-petapa-gotama
0 komentar:
Posting Komentar