ANATHAPINDIKA MENJADI
MURID
“Demikianlah yang
telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Savatthi, di
Jetavana, di Vihara Anathapindika...” Banyak kotbah Sang Buddha yang diawali dengan
kalimat seperti ini, dan oleh karena itu nama dari sang umat awam utama,
Anathapindika, dikenal baik
oleh para pembaca literatur Buddhis.
Namanya berarti “seseorang yang memberikan
dana (pinda) kepada yang tak-mampu (anatha),’’ dan merupakan panggilan kehormatan Sudatta
si perumahtangga dari kota Savatthi. Siapakah dia? Bagaimanakah dia bertemu
Sang Buddha? Apakah hubungan dia dengan Ajaran? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini bisa ditemukan dalam berbagai referensi yang muncul
dalam teks-teks tradisional.
Pertemuan pertama
Anathapindika dengan Sang
Buddha terjadi segera setelah vassa ketiga sejak Sang Buddha mencapai
Pencerahan Sempurna. Pada masa awalnya, Sang Buddha belum menetapkan peraturan
apapun mengenai tempat berdiam bagi para bhikkhu. Para bhikkhu tinggal
dimanapun yang mereka mau—di hutan, di bawah pohon, di bawah bebatuan yang
menonjol, di jurang, di gua, di kuburan, dan di ruang terbuka. Pada suatu hari,
seorang pedagang kaya dari Rajagaha, ibukota dari kerajaan Magadha, menjadi
pengikut setia Sang Buddha. Ketika melihat cara hidup para bhikkhu, ia
menyarankan kepada para bhikkhu untuk bertanya kepada Sang Guru apakah beliau
mengijinkan mereka untuk menerima tempat tinggal yang permanen. Ketika Sang
Buddha memberikan ijinnya, si pedagang langsung mendirikan tidak kurang dari
enam puluh tempat tinggal bagi para bhikkhu, ia menjelaskan bahwa ia perlu
mengumpulkan jasa kebajikan. Dengan dibangunnya vihara pertama itu, maka sebuah
landasan telah dibuat untuk penyebaran Dhamma, karena sekarang telah ada pusat
pelatihan bagi Sangha.
Pedagang ini memiliki
seorang saudara ipar yang bernama Sudatta tetapi selalu dipanggil Anathapindika, pedagang terkaya di Savatthi. Pada suatu ketika
Anathapindika sedang
melakukan perjalanan bisnis di negara tetangga Magadha, ia mampir ke Rajagaha.
Seperti biasa, ia selalu mampir dulu ke rumah saudara iparnya, yang dengannya
terikat persahabatan yang hangat. Ketika memasuki rumah, dengan terkejut ia
mendapati bahwa orang- orang di rumah itu nyaris tidak memperhatikannya. Sebelumnya
ia telah terbiasa mendapat perhatian yang penuh dari saudara iparnya, serta
penerimaan yang hangat dari para penghuni rumah. Tetapi sekarang ia menemukan
mereka begitu sibuk, begitu bersemangat membuat persiapan yang rumit. Ia
bertanya kepada saudara iparnya yang sedang sibuk, mengenai maksud dari semua
ini: “Sebuah pernikahan? Sebuah upacara kurban besar? Kunjungan dari raja?”
Namun saudara iparnya menjelaskan: “Aku telah mengundang Yang Tercerahkan (Sang
Buddha) dan para bhikkhu ke sini untuk makan besok.”
Anathapindika pun tertarik: “Apakah engkau berkata ‘Yang
Tercerahkan’?”
“Benar,”
jawab saudara iparnya, “besok Yang Tercerahkan akan datang.” Anathapindika, yang sulit mempercayai
pendengarannya, bertanya
untuk kedua, dan ketiga kalinya: “Apakah engkau berkata ‘Yang Tercerahkan’?”
Kemudian dengan menarik nafas lega, ia berkata, “Bahkan bunyi dari kata-kata
ini saja sungguh langka di dunia—Yang Tercerahkan. Dapatkah seseorang
benar-benar menemui beliau?” Saudara iparnya menjawab: “Hari ini kurang tepat,
tetapi engkau dapat pergi menemuinya besok pagi.”
Malam itu, ketika Anathapindika
berbaring tertidur, ia tergerak oleh pikiran dan perasaan yang berkecamuk.
Begitu kuat perasaannya menanti pertemuan esok sehingga ia terbangun tiga kali
di malam hari, berpikir bahwa hari sudah pagi. Akhirnya, ia bangun bahkan
sebelum fajar dan keluar dari kota menuju vihara. Dalam kegelapan, rasa takut
mendatanginya, keraguan dan ketakpastian berkecamuk dalam hatinya, dan semua
insting duniawinya memberitahu untuk kembali. Tetapi makhluk halus yang
tak-terlihat bernama Sivaka mendorongnya untuk terus,sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/anathapindika-penyokong-utama-sang-buddha-2/
0 komentar:
Posting Komentar