Buku I – EKANIPĀTA1
APAṆṆAKA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[95] Uraian Dhamma2 ini disampaikan oleh Bhagawan
(Bhagavā) saat Beliau berdiam di sebuah arama di Jetawana (Jetavana), di
dekat Kota Sawatthi (Savātthi). Anda tentu mereka-reka, mengenai
siapakah kisah ini?
Baiklah, mereka adalah lima ratus orang teman dari seorang hartawan. Mereka juga merupakan murid dari penganut ajaran sesat3.
Suatu hari, Anāthapiṇḍika4, sang hartawan, mengajak
teman-temannya, kelima ratus murid dari kelompok lain ke Jetawana, ia
membawa untaian kalung bunga, wewangian dan obat-obatan dalam jumlah
banyak, di samping itu, terdapat juga minyak, madu, sari gula, kain dan
jubah. Setelah memberikan penghormatan kepada Bhagawan, ia
mempersembahkan untaian kalung bunga dan sejenisnya kepada Beliau,
menyerahkan obat-obatan, barang-barang lainnya, beserta kain kepada
Bhikkhu Sanggha (Saṅgha). Setelah itu, ia duduk di satu sisi agar tidak
melanggar enam tata cara dalam memilih tempat duduk. Demikian juga
kelima ratus murid dari kelompok lain itu, setelah memberikan
penghormatan kepada Buddha, mereka mengambil tempat duduk di dekat
Anāthapiṇḍika, menatap ketenangan wajah Bhagawan, yang bersinar laksana
cahaya purnama; keberadaan Beliau diliputi tanda-tanda Kebuddhaan,
gemilang bagai cahaya yang menerangi hingga jarak satu depa jauhnya;
kecemerlangan agung yang menandai seorang Buddha, laksana untaian bunga
yang muncul sepasang demi sepasang.
Kemudian, walaupun dengan nada gemuruh laksana deram singa muda di
Lembah Merah, seperti awan badai di musim hujan yang turun bagai Sungai
Gangga dari surga5 [96] dan terlihat seperti untaian batu
permata; namun ketika menyuarakan delapan tingkatan kesucian yang sangat
memukau, Beliau membabarkan Dhamma dengan sangat merdu dan dengan
berbagai keindahan yang cemerlang kepada mereka.
Setelah mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Bhagawan, mereka
bangkit dengan niat untuk mengubah keyakinan mereka. Dengan memberi
penghormatan kepada Yang Mahatahu, mereka meninggalkan keyakinan mereka
sebelumnya dan berlindung kepada Buddha. Sejak itu, dengan tanpa henti
mereka selalu pergi bersama Anāthapiṇḍika, membawa wewangian, untaian
bunga dan sejenisnya di tangan mereka; mendengarkan Dhamma di wihara;
mereka melatih kemurahan hati, menjaga sila dan menjalankan puasa pada
harihari uposatha.
Kemudian Bhagawan meninggalkan Sawatthi untuk kembali ke Rājagaha.
Segera setelah Beliau pergi, mereka pun meninggalkan perlindungan
terhadap Buddha dan kembali berlindung pada ajaran yang semula mereka
anut.
Setelah menetap di Rājagaha selama tujuh hingga delapan bulan
lamanya, Bhagawan kembali ke Jetawana. Sekali lagi Anāthapiṇḍika bersama
teman-temannya mengunjungi Sang Guru, memberikan penghormatan,
mempersembahkan wewangian dan sejenisnya, dan mengambil tempat duduk di
satu sisi. Teman-temannya juga memberikan penghormatan kepada Beliau dan
mengambil tempat duduk dengan cara yang sama. Kemudian Anāthapiṇḍika
memberitahukan kepada Bhagawan bagaimana teman-temannya meninggalkan
perlindungan kepada-Nya, kembali menganut keyakinan mereka yang lama
pada saat Buddha melakukan perjalanan pindapata (piṇḍapāta, menerima
derma makanan).
Setelah membuka mulut-Nya yang bagaikan seroja, laksana peti harta
karun, diliputi semerbak aroma bunga yang amat wangi dan diliputi oleh
harumnya kebajikan yang telah Beliau perbuat selama berkalpa-kalpa6 lamanya, dengan suara yang merdu Bhagawan bertanya, “Benarkah kalian, para Siswa-Ku, meninggalkan Tiga Perlindungan 7 untuk berlindung pada ajaran yang lain?”
Karena sudah tidak dapat menutupi kenyataan tersebut, mereka pun
mengakuinya dan berkata, “Hal itu benar adanya, Bhagawan.” Mendengar hal
tersebut, Sang Guru berkata, “Para Siswa, kemuliaan yang timbul dari
menjalankan sila dan melaksanakan perbuatan baik lainnya, bukan di
antara batasan neraka8 terendah dan surga tertinggi, bukan
pula di semua alam tanpa batas yang membentang ke kanan maupun ke kiri,
melainkan yang setara, atau sedikit berkurang kemuliaannya dalam hal
keunggulan seorang Buddha.”
Lalu Beliau menyampaikan keunggulan dari Tiga Permata sebagaimana
telah tercantum dalam kitab suci kepada mereka. Beberapa diantaranya
adalah : “Wahai Bhikkhu, semua makhluk, yang tidak berkaki, dan
seterusnya, di antara semuanya Buddhalah yang menjadi pemimpin.”;
“Kekayaan apapun yang ada, baik di alam ini maupun di alam lainnya dan
seterusnya.”; dan “Sesungguhnya pemimpin dari orang yang berkeyakinan
dan seterusnya.” Beliau berkata lebih lanjut, “Tidak ada siswa, baik
pria maupun wanita, yang berlindung pada Tiga Permata yang diberkahi
dengan keunggulan tiada taranya, yang akan dilahirkan kembali di alam
neraka maupun alam sejenis lainnya; melainkan mereka akan terbebaskan
dari kelahiran di alam yang menderita, terlahir di alam dewa dan
menikmati kejayaan di sana. Karena itulah, jika meninggalkan
perlindungan demikian untuk mengikuti ajaran lain, maka kalian telah
berjalan ke arah yang salah.”
(Berikut adalah kutipan dari kitab suci yang perlu dilantunkan untuk
menjelaskan bahwa tiada seorang pun yang mencari pembebasan dan
kebahagiaan tertinggi, akan terlahir kembali di alam yang menderita
setelah berlindung pada Tiga Permata :
[97] Mereka yang berlindung pada Buddha,
tidak akan terlahir ke alam yang menderita;
segera setelah mereka meninggalkan alam manusia,
wujud Deva9 akan didapatkannya.
_____________________
Mereka yang berlindung pada Dhamma,
dan seterusnya
_____________________
Mereka yang berlindung pada Sanggha, dan seterusnya
Berbagai perlindungan yang dicari oleh manusia,
—Puncak gunung, keheningan hutan,
(dan seterusnya hingga )
Ketika perlindungan demikian telah ia cari dan temukan,
ia akan terbebaskan dari segala penderitaan.)10
Namun Sang Guru tidak mengakhiri khotbah-Nya sampai di sini. Beliau
menambahkan, “Wahai Bhikkhu, meditasi dengan objek renungan terhadap
Buddha, Dhamma ataupun Sanggha, akan membawa kita mencapai tingkat
kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi, dan
Arahat11.” Setelah selesai membabarkan Dhamma kepada mereka
dengan menggunakan berbagai cara, Beliau berkata lebih lanjut, “Jika
meninggalkan perlindungan demikian, maka kalian telah berjalan ke arah
yang salah.”
(Beberapa tingkatan kesucian yang dapat dicapai melalui meditasi
dengan objek perenungan Buddha, dan seterusnya; diperjelas lagi melalui
beberapa kitab, seperti : —“Wahai Bhikkhu, ada satu hal yang pasti, jika
dipraktikkan dan dikembangkan akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap
kesenangan duniawi, berhentinya nafsu, berakhirnya proses kelahiran,
ketenangan, menuju pandangan terang, mencapai penerangan sempurna,
nibbana. Apakah satu hal itu? —Meditasi dengan menggunakan objek
perenungan terhadap Buddha.”)
Ketika Beliau memberikan nasihat kepada para bhikkhu, Bhagawan
berkata, “Wahai Bhikkhu, di masa lampau, mereka yang berkesimpulan
salah, berpandangan bahwa dengan tidak berlindung merupakan perlindungan
yang sesungguhnya, akan menjadi mangsa dan dibinasakan oleh yaksa buas
di hutan belantara berpenghuni siluman; sementara itu, mereka yang yakin
terhadap kebenaran sejati tanpa keraguan, mampu bertahan di hutan
belantara itu.” Setelah mengucapkan ini, Beliau berdiam diri.
Lalu sambil bangkit dan memberikan hormat kepada Bhagawan, Upasaka
Anāthapiṇḍika mengutarakan pujian, dengan kedua tangan dirangkupkan
dengan penuh penghormatan hingga ke dahinya, ia berucap, “Jelas bagi
kami, Sang Guru, bahwa saat ini para bhikkhu berjalan ke arah yang salah
dengan meninggalkan perlindungan tertinggi. Namun kehancuran yang sudah
terjadi bagi mereka yang berpendirian keras di hutan belantara
berpenghuni siluman, dan keberhasilan dari mereka yang yakin akan
kebenaran, tidak diketahui oleh kami dan hanya diketahui oleh Sang Guru.
[98] Semoga Bhagawan, laksana menerbitkan purnama ke langit,
menjelaskan hal ini kepada kami.”
Kemudian Bhagawan bertutur, “Semata-mata untuk mengatasi
persoalan-persoalan keduniawian, dengan melaksanakan Sepuluh
Kesempurnaan (Dasa Parami)12 selama berkalpa-kalpa, segala
pengetahuan menjadi jelas bagi-Ku. Simak dan dengarkanlah, secermat
seperti kalian mengisi sumsum seekor singa ke dalam tabung emas.”
Setelah mendapatkan perhatian penuh dari hartawan, Bhagawan
menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan
kelahiran kembali, seolah-olah Beliau membebaskan purnama dari udara
bebas yang tinggi, tempat terbentuknya salju.
____________________
Suatu ketika di masa lampau Brahmadatta terlahir sebagai seorang raja
di Benares, negeri Kāsi, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga
saudagar. Setelah dewasa, ia senantiasa melakukan perjalanan untuk
berdagang dengan membawa lima ratus buah gerobak, menempuh perjalanan
dari timur ke barat dan sebaliknya. Di Kota Benares juga terdapat
seorang saudagar muda lainnya yang dungu dan pendek akal.
Kembali ke kisah ketika Bodhisatta yang siap untuk memulai
perjalanannya setelah mengisi kelima ratus buah gerobaknya dengan
barang-barang bernilai tinggi yang dihasilkan oleh penduduk Benares.
Sama halnya dengan saudagar muda yang dungu itu. Saat itu Bodhisatta
berpikir, “Jika si dungu ini berjalan bersamaku sepanjang perjalanan,
akan ada seribu gerobak yang beriringan di jalan yang sama. Jalanan akan
penuh sesak oleh iringan gerobak. Sulit untuk mendapatkan baik kayu,
air dan lainnya yang cukup untuk semua orang, maupun rumput untuk
sapi-sapi. “Salah seorang dari kami harus berangkat terlebih dahulu.”
Bodhisatta mendatangi dan menyampaikan pandangannya kepada saudagar
dungu itu, dengan berkata, “Kita tidak dapat berangkat bersamaan; kamu
memilih berangkat terlebih dahulu atau belakangan?” Saudagar dungu itu
berpikir, “Akan ada banyak keuntungan yang bisa saya peroleh dengan
berangkat terlebih dahulu. Jalanan masih bagus dan sapi-sapi akan
mendapatkan rumput yang cukup. Para pelayanku akan mendapatkan
rempah-rempah untuk kari, air yang masih jernih, dan yang terakhir,
sayalah yang menentukan harga saat tukar menukar barang dilakukan.” Maka
ia menjawab, “Saya akan berangkat terlebih dahulu, Saudaraku.” [99]
Di sisi lain, Bodhisatta melihat banyak keuntungan dengan berangkat
belakangan, Bodhisatta berkata pada dirinya sendiri, “Mereka yang
berangkat terlebih dahulu akan meratakan jalan yang berpermukaan tidak
rata, barulah saya akan menempuh jalan yang telah mereka lewati; sapi
mereka akan memakan rumput tua yang kasar, barulah sapi-sapi saya dapat
menikmati rumput muda yang baru tumbuh di sepanjang jalan; para pengikut
saya akan mendapatkan rempah-rempah segar yang baru tumbuh setelah
tanaman tua dipetik oleh mereka; jika tidak ada sumber air, mereka harus
menggali sumur untuk mendapatkan air dan kami dapat minum air dari
sumur yang telah ada. Tawar menawar adalah pekerjaan yang sangat
melelahkan, dengan berangkat belakangan, saya dapat menukar barang
bawaan saya dengan harga yang telah mereka sepakati sebelumnya.” Dengan
pertimbangan tersebut, ia berkata, “Engkau dapat berangkat terlebih
dahulu, Saudaraku.”
“Baiklah, saya akan segera berangkat,” jawab saudagar dungu itu. Ia
mempersiapkan gerobak sapinya dan segera memulai perjalanan. Setelah
berjalan beberapa saat, ia telah meninggalkan daerah tempat tinggal
manusia dan mencapai daerah pinggiran hutan. (Hutan di sini terbagi
menjadi lima jenis :
— Hutan Perampok, Hutan Binatang Buas, Hutan Tandus, Hutan Siluman
dan Hutan Kelaparan. Jenis hutan yang pertama adalah hutan yang di
sepanjang jalannya ditunggui oleh para perampok; jenis yang kedua adalah
hutan yang dihuni oleh singa dan binatang buas lainnya; yang ketiga
adalah hutan yang tidak terdapat air untuk mandi maupun minum barang
setetes pun; yang keempat adalah hutan yang dihuni oleh siluman di
sepanjang jalannya; dan jenis yang kelima adalah hutan dimana akar
tanaman maupun makanan lainnya tidak dapat ditemukan. Dari kelima jenis
hutan di atas, dua jenis yang menjadi masalah besar adalah Hutan Tandus
dan Hutan Siluman). Karena itulah si saudagar muda membawa banyak kendi
air besar di gerobaknya. Setelah kendi-kendi itu diisi penuh dengan air,
ia mulai bergerak melintasi padang tandus selebar enam puluh yojana
yang terbentang di hadapannya. Saat ia mencapai jantung hutan, yaksa
yang menghuni hutan itu berkata kepada dirinya sendiri, “Saya akan
membuat orang-orang ini membuang persediaan air mereka, dan melahap
mereka semua saat mereka jatuh pingsan.” Maka [100] dengan menggunakan
kekuatan sihirnya ia menciptakan sebuah kereta megah yang ditarik oleh
sapi jantan muda berwarna putih bersih. Yaksa itu bergerak menuju
tempatsaudagar dungu berada, bersama rombongan yang terdiri dari sekitar
sepuluh hingga dua belas yaksa lainnya yang menyandang busur dan tempat
anak panah serta membawa pedang dan perisai. Ia bertingkah seakan-akan
ia adalah seorang raja yang sangat berkuasa di kereta itu, dengan
untaian seroja biru dan teratai putih melingkari kepalanya, pakaian dan
rambut yang basah, serta roda kereta yang berlepotan lumpur. Para
pengawalnya, yang berada di barisan depan dan belakang, juga berada
dalam keadaan pakaian dan rambut yang basah, dengan untaian seroja biru
dan teratai putih di kepala mereka, membawa rangkaian teratai putih di
tangan mereka sambil mengunyah batang bunga segar yang masih berteteskan
air dan lumpur. Pemimpin kereta ini mempunyai kebiasaan sebagai
berikut: Ketika angin bertiup ke arah mereka, mereka mengendarai kereta
di depan dengan para pengawal mengelilingi mereka agar terhindar dari
debu; saat angin bertiup searah mereka, mereka berpindah ke bagian
belakang jalur. Saat itu, angin berhembus berlawanan arah dengan mereka,
dan saudagar dungu itu mengendarai di depan. Yaksa yang telah
mengetahui kedatangan saudagar muda tersebut, mendekatkan keretanya ke
samping gerobak saudagar itu dan menyapanya dengan ramah sambil bertanya
kemana saudagar itu akan pergi. Saudagar dungu membiarkan rombongan
gerobak yang lain melewatinya terlebih dahulu, sementara dia
menghentikan gerobaknya dan menjawab, “Kami baru saja meninggalkan
Benares, Tuan. Saya melihat ada seroja dan teratai di kepala dan tangan
Anda, para pengawal Anda juga mengunyah batangan bunga. Selain itu, Anda
semuanya berlepotan lumpur dan basah kuyup. Apakah hujan turun selama
perjalanan Anda, atau Anda baru saja keluar dari kolam yang dipenuhi
oleh seroja dan teratai?”
Yaksa itu berseru, “ Apa maksudmu dengan berkata demikian? Oh, di
sebelah sana, di bagian hutan yang agak dalam, air berlimpah-limpah. Di
sana, hujan turun sepanjang waktu, sehingga kolam-kolam meluap; dan
setiap sudut kolam dipenuhi oleh seroja dan teratai.” Setelah rombongan
kereta [101] melewati mereka, yaksa itu menanyakan tujuan saudagar itu.
“Ke tempat seperti itu,” jawabnya. “Apa saja barang bawaanmu di
gerobak-gerobak itu?” “Ini dan itu.” “Apa yang engkau muat di gerobak
terakhir ini karena kelihatannya gerobakmu membawa muatan yang berat
sekali?” “Oh, gerobak ini berisi air” “Engkau memang perlu membawa air
di sepanjang jalan yang telah engkau lalui. Namun, untuk sisa perjalanan
yang belum engkau tempuh, tidak perlu melakukan hal itu lagi, ada
persediaan air yang berlimpah di depan sana. Karena itu, pecahkan dan
buang saja kendi air itu agar engkau bisa bergerak lebih cepat.”
Kemudian yaksa itu menambahkan, “Kita telah berhenti cukup lama,
sekarang lanjutkanlah perjalananmu.” Setelah itu, ia bergerak maju
secara perlahan, hingga tidak kelihatan lagi, kemudian kembali ke
perkampungan para yaksa, tempat dimana ia tinggal.
Saudagar dungu tersebut benar-benar melakukan apa yang dikatakan oleh
yaksa itu, ia memecahkan dan membuang kendi-kendi air itu tanpa
menyisakan air setetes pun. Setelah selesai, ia memerintahkan gerobaknya
untuk segera melanjutkan perjalanan. Tidak setetes air pun yang mereka
temukan di sepanjang jalan yang mereka lalui, sementara itu, rasa haus
yang teramat sangat mendera, melelahkan mereka. Mereka berjalan terus
hingga matahari terbenam. Saat senja tiba, mereka melepaskan sapi dari
gerobak, membentuk formasi gerobak untuk membentengi mereka dan
menambatkan sapisapi itu pada roda gerobak. Sapi-sapi tidak mendapatkan
air untuk minum, demikian pula saudagar serta para pengikutnya tidak
dapat menanak nasi karena tidak ada air; para rombongan yang telah
kelelahan itu akhirnya tersungkur ke tanah dan tertidur. Begitu malam
tiba, para yaksa muncul dan memangsa mereka semuanya, baik manusia
maupun sapi. Setelah melahap habis semua daging hingga yang tersisa
hanyalah tulang belulang, para yaksa segera meninggalkan tempat itu.
Demikian kedunguan saudagar muda itu menjadi satu-satunya penyebab
binasanya rombongan tersebut, sedangkan kelima ratus gerobaknya tak
tersentuh di sana.
Enam minggu setelah keberangkatan saudagar dungu itu, Bodhisatta
memulai perjalanan-Nya. Ia meninggalkan kota bersama kelima ratus
gerobaknya dan dalam sekejap ia telah tiba di pinggir hutan. Sebelum
memasuki hutan, ia mengisi kendikendi airnya hingga penuh, kemudian
dengan bunyi genderang ia mengumpulkan semua pengikutnya di perkemahan
itu [102], ia berkata kepada mereka semuanya, “Jangan sampai ada
penggunaan air setetes pun tanpa persetujuan saya. Ada beragam tanaman
beracun di hutan ini, jadi jangan ada satu orang pun yang memakan baik
daun, bunga maupun buah yang belum pernah dimakan sebelumnya, tanpa
menanyakan terlebih dahulu kepada saya.” Setelah menyampaikan hal
tersebut, ia masuk ke dalam hutan bersama kelima ratus buah gerobaknya.
Saat ia mencapai jantung hutan, yaksa itu muncul di jalan yang dilalui
oleh Bodhisatta dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Namun segera
setelah Beliau menyadari keberadaan yaksa itu, Bodhisatta mengetahui
maksud yaksa tersebut; karenanya beliau menimbang, “Tidak ada setetes
air pun di sini, di Hutan Tandus ini. Orang yang bermata merah dan
bersikap agresif ini tidak memantulkan bayangan. Besar kemungkinan ia
telah membujuk saudagar dungu yang berangkat sebelum saya untuk membuang
persediaan airnya, menunggu hingga mereka kelelahan, lalu memangsa
mereka semuanya. Ia tidak tahu kalau saya lebih pintar dan lebih cerdik
darinya.” Ia menghardik yaksa itu, “Pergilah! Kami ini pedagang, kami
tidak akan membuang persediaan air kami sebelum kami melihat sendiri
sumber air yang kamu katakan itu. Jika sumber air itu telah terlihat,
mungkin kami mau membuang persediaan air untuk meringankan beban gerobak
kami.”
Yaksa itu bergerak maju hingga tidak kelihatan lagi, kemudian kembali
ke perkampungan para yaksa, tempat dimana ia tinggal. Setelah yaksa itu
pergi, para pengikut Bodhisatta berkata, “Tuanku, kami dengar dari
rombongan itu bahwa di depan sana hujan selalu turun. Mereka memakai
untaian seroja dan teratai di kepala mereka, mengunyah batangan bunga
yang masih segar, dan pakaian serta rambut mereka basah kuyup dengan air
yang masih menetes. Mari kita buang persediaan air kita dan bergerak
lebih cepat dengan gerobak yang lebih ringan.” Mendengar kata-kata itu,
Bodhisatta meminta mereka untuk berhenti dan mengumpulkan mereka
semuanya lagi. “Katakan padaku,” ia berkata, “sebelum hari ini adakah di
antara kalian yang pernah mendengar adanya kolam atau danau di Hutan
Tandus ini?” “Tidak, Tuanku,” jawab para pengikutnya. Bodhisatta berkata
lagi, “Itulah sebabnya hutan ini dikenal dengan sebutan Hutan Tandus.”
“Kita baru saja diberitahukan oleh orang-orang bahwa hujan baru saja
turun di depan sana, di jalur besar hutan; seberapa jauhkah angin dapat
membawa hujan?” [103] “Sekitar satu yojana, Tuan.” “Adakah di antara
kalian yang terkena hujan?” “Tidak, Tuan” “Seberapa jauhkah puncak awan
topan dapat terlihat?” “Sekitar satu yojana, Tuan.” “Adakah di antara
kalian, orang yang melihat adanya puncak awan topan dari sini?” “Tidak,
Tuan.” “Seberapa jauhkah kilatan halilintar dapat terlihat?” “Sekitar
empat sampai lima yojana, Tuan.” “Apakah ada orang yang melihat kilatan
halilintar walaupun hanya seberkas dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Seberapa
jauhkah gemuruh petir dapat terdengar?” “Antara dua atau tiga yojana,
Tuan.” “Adakah di antara kalian yang mendengar gemuruh petir dari sini?”
“Tidak, Tuan.” “Mereka bukanlah manusia, melainkan yaksa. Mereka akan
kembali lagi dengan harapan untuk memangsa kita saat kita lemah dan
pingsan setelah persediaan air kita buang sesuai dengan bujukan mereka.
Karena saudagar muda yang berangkat terlebih dahulu bukanlah orang yang
pintar, besar kemungkinan ia telah ditipu untuk membuang persediaan air
mereka dan telah dimangsa saat keletihan melanda mereka. Kita mungkin
bisa menemukan lima ratus buah gerobak milik saudagar itu di tempat
mereka ditinggalkan pada hari ini juga. Mari kita teruskan perjalanan
ini secepat mungkin, tanpa kehilangan setetes air pun.”
Dengan menyemangati orang-orangnya dengan katakata tersebut, ia
meneruskan perjalanan hingga tiba di tempat kelima ratus gerobak yang
masih sarat muatan berada, dengan tulang belulang manusia dan sapi
tergeletak bertebaran di segala penjuru. Ia melepaskan sapi dari
gerobaknya, kemudian menbentuk formasi besar gerobak untuk membentengi
mereka; setelah mereka menikmati makan malam mereka, sapi-sapi
ditempatkan di tengah lingkaran dengan para pengikutnya mengelilingi
sapi-sapi itu; ia sendiri bersama dengan pemimpin rombongannya berdiri
berjaga-jaga, dengan pedang di tangan, melewati tiga waktu jaga sampai
hari menjelang fajar. Keesokan dini hari, setelah sapi-sapi diberi makan
dan semua kebutuhan lainnya telah terpenuhi, ia menukar gerobaknya yang
telah usang dengan gerobak yang lebih kuat, menukar barang-barangnya
dengan barang-barang yang lebih berharga dari gerobak yang telah
ditinggalkan itu. Setelah selesai, ia segera meneruskan perjalanan
hingga tiba di tempat tujuannya, menukarkan barangbarang muatannya
dengan nilai yang berlipat ganda, kemudian pulang kembali ke Benares
tanpa kehilangan satu orang pengikut pun.
_____________________
[104] Saat kisah ini berakhir, Guru berkata, “Wahai Siswa,
demikianlah yang terjadi di kelahiran lampau, ia yang penuh kedunguan
menyebabkan terjadinya kebinasaan, sementara ia yang yakin pada
kebenaran, lolos dari genggaman yaksa, mencapai tujuannya dengan selamat
dan pulang kembali ke rumah mereka.” Buddha kemudian mempertautkan
kedua kisah itu, lalu mengucapkan syair Dhamma berikut ini:
Saat satu-satunya kebenaran yang tiada bandingnya dibabarkan,
mereka yang berpandangan salahakan berbicara sebaliknya.
Ia yang bijak mendapat hikmah dari yang didengarnya,
menggenggam satu-satunya kebenaran yang tiada taranya.
[105] Demikianlah tuturan Dhamma tentang Kebenaran yang diajarkan
oleh Bhagawan. Beliau berkata lebih lanjut, “Yang disebut hidup sesuai
Dhamma tidak hanya diberkahi tiga alam kebahagiaan, enam Alam Kāmaloka,
dan alam brahma yang lebih tinggi, namun mencapai tingkat kesucian
Arahat [106]; sedangkan hidup tidak sesuai Dhamma menyebabkan kelahiran
kembali di empat alam neraka atau lahir menjadi manusia dengan kasta
yang paling rendah.” Bhagawan kemudian menguraikan lebih terperinci
mengenai enam belas jalan tentang Empat Kebenaran Mulia13, pada akhir khotbah kelima ratus siswa tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpatti-Phala14.
Setelah Dhamma selesai dibabarkan, Bhagawan menjelaskan pertautan
kedua kisah kelahiran tersebut, “Devadatta adalah saudagar muda yang
dungu itu, para pengikut saudagar dungu itu merupakan pengikutnya;
pengikut saudagar yang cerdik itu adalah pengikut Buddha, dan saudagar
yang cerdik itu adalah Saya sendiri.”
[Catatan : Lihat jurnal Ceylon Branch dari Royal Asiatic Society,
1847, dimana Gogerly telah menerjemahkan Jātaka ini, seperti juga dengan
yang kedua, ketiga, keempat, keenam dan ketiga puluh delapan, dengan
pengenalan singkat terhadap Kitab Jātaka. Lihat juga halaman 108 dari
buku Manual of Budhism karya Hardy, dan Ceylon Friend karya Gogerly
terbitan Agustus 1838. Kisah Jātaka ini juga dikutip dalam
Milinda-pañha, halaman 289 terjemahan Rhys Davids, Vol.35 dari Sacred
Books of the East. Terdapat Apaṇṇaka-Sutta di dalam Majjhima-Nikāya
(No.60), namun tidak terlihat hubungannya dengan Apaṇṇaka-Jātaka ini.]
Catatan kaki :
1Teks kanon dari kitab Jātaka berisi kumpulan gāthā atau
bait, terbagi dalam beberapa kitab atau nipāta, sesuai jumlah gāthā yang
ada. Jilid ini berisikan seratus lima puluh kisah, menggambarkan dan
menguraikan masing-masing gāthā, dan dirangkum menjadi kitab pertama.
Kitab selanjutnya memiliki lebih banyak gāthā dan lebih sedikit kisah.
Contohnya, kitab kedua berisi seratus kisah dari dua gāthā, kitab ketiga
dengan lima puluh kisah dari tiga gāthā, dst. Jumlah keseluruhan kitab
atau nipāta ada dua puluh dua, dua puluh satu diantaranya merupakan isi
dari lima jilid kitab yang telah diterbitkan dalam teks Pali. Nipāta –
nipāta terbagi lagi ke dalam beberapa vagga, yaitu kumpulan sekitar
sepuluh kisah yang diberi judul sesuai dengan urutan dari kisah
pertamanya. Saat ini masih belum diperlukan pembagian-pembagian tersebut
untuk kepraktisan penerjemahannya.
2 Cerita pembuka biasanya diawali dengan kutipan sebagai slogan, kata pertama dari gatha berikutnya.
3 Secara harfiah disebut sekte; biasanya diartikan menjadi
‘sesat’, istilah yang terlalu bersifat keagamaan jika digunakan oleh
para filsuf. Enam orang saingan utama Petapa Gotama adalah Pūrana
Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesa-Kambalī, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya
Belaṭṭhi-putta, dan Nigaṇṭha Nāta-putta (lihat Sāmaññaphala Sutta pada
Dīgha Nikāya, Vol I, hlm.47).
4 Ini adalah nama keluarga, secara harfiah berarti
‘pemberi makan kepada orang miskin’. Nama sebenarnya adalah Sudatta.
Lihat pada Vinaya (Cullavagga,VI.4,9) tentang bagaimana ia membeli hutan
kecil dari Pangeran Jeta dengan menggunakan sebanyak kepingan uangnya
untuk menutupi tanah di hutan itu sebagai alat pembayarannya, dan
bagaimana ia membangun sebuah arama yang agung untuk Sang Buddha.
5 Yakni Galaksi Bimasakti.
6 1 kalpa = 1 milyar tahun.
7 Yakni Buddha, Dhamma dan Sanggha. Tiga kesatuan ini dikenal sebagai ‘Tiga Permata’.
8 Dalam ajaran Buddha yang sesungguhnya kita mengetahui
tidak adanya neraka yang abadi, hanya suatu tempat penyiksaan, walaupun
demikian hanya bersifat sementara dan mendidik.
9 Kata deva, tetap ditulis sesuai dengan bahasa Pali-nya,
karena lebih bermakna ‘Dewa’ daripada ‘Tuhan’, untuk disesuaikan
penggunaannya dalam ajaran Buddha. Lihat buku karangan Rhys Davids yang
berjudul ‘Buddhist Suttas’ di halaman 162.
10 Dhammapada,V.188-192
11 Lihat catatan di halaman 17.
12 Yaitu : Dāna, Sīla, Nekkhama, Pañña, Viriya, Khanti,
Sacca, Aditthana, Mettā, dan Upekkha. (Lihat Cariyā Piṭaka, hlm.45-7
dari teks Pāli yang disunting oleh Dr Morris untuk Pāli Text Society);
lihat juga Jātaka No.35 dst.
13 Empat Kebenaran Mulia terdiri dari : — (i) Dukkha; (ii)
Asal mula dukkha; (iii) Lenyapnya dukkha; dan (iv) Jalan menuju
lenyapnya dukkha dengan cara melaksanakan Jalan Mulia Beruas Delapan
yang telah ditunjukkan oleh Sang Buddha. ( Lihat Hibbert Lecture, 1881
karya Rhys Davids)
14 Jalan ideal yang ditempuh umat Buddha, dilanjutkan
dengan tingkatan bertahap yang disebut dengan cattāro maggā atau ‘empat
tingkat kesucian’. Tingkatan pertama dikenal sebagai Sotāpanna
(seseorang yang telah memasuki arus, dalam arti mengikuti arus menuju
nibbana) dan telah pasti mencapai nibbana tetapi masih harus terlahir di
alam kehidupan menderita sebanyak tujuh kali; tingkatan kedua dikenal
sebagai Sakadāgāmī, siswa Buddha yang melenyapkan belenggu ini hanya
akan terlahir sekali lagi di alam manusia sebelum mencapai nibbana;
tingkatan ketiga adalah Anagāmi, siswa Buddha yang tidak akan terlahir
di alam menderita, hanya akan terlahir di alam brahma; sedangkan
tingkatan yang keempat adalah Arahat, yaitu pembebasan (nibbana).
Masing-masing dari empat tingkatan ini dibagi lagi menjadi dua
sub-tingkatan, yang rendah adalah ‘magga’ (Jalan), dan yang lebih tinggi
adalah ‘phala ’ (Buah). (Lihat Mahā-parinibbāna Sutta dan
komentar-komentar pada Sumaṅgala Vilāsinī).
Sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/apannaka-jataka/
0 komentar:
Posting Komentar